Pesantren Mahasiswa dan Kampus Santri
Oleh: Abd. Halim Fathani Yahya*
Perkembangan dunia pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat menggembirakan. Hal ini, dapat dicermati dengan adanya rekonstruksi bangunan kurikulum yang telah ada menjadi sebuah konsep keilmuan yang utuh dan integralistik. Lembaga pendidikan telah menyiapkan segala perangkatnya untuk bagaimana mencetak generasi-generasi yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun juga mempersiapkan anak didiknya untuk memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual serta kecerdasan-kecerdasan lainnya. Dengan kata lain, pendidikan saat ini sudah didesain sedemikian rupa sehingga kualitas output yang dihasilkan benar-benar dapat menjalani roda kehidupan sesuai dengan zamannya. Mega proyek pendidikan yang sedang ramai digarap saat ini adalah memadukan sistem pendidikan konvensional yang telah berjalan selama ini dengan tradisi pendidikan pesantren.
Berpijak dari ide inilah, maka saat ini dapat kita saksikan menjamurnya bangunan pesantren (baca: ma’had ali) di dalam kampus dan sebaliknya banyak pesantren yang juga ramai-ramai ikut mengembangkan lembaganya dengan membangun kampus dalam pesantren. Model pendidikan seperti ini—sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Abdul Aziz Choiri (Pengasuh Pesantren Al-Ma’ruf Lamongan)—yaitu lembaga pendidikan yang mensalafkan kaum intelektual dan mengintelektualkan kaum salaf. Dalam bahasa lain menurut Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang) adalah menjadikan ulama intelek yang profesional dan intelek profesional yang ulama. Kesemuanya ini hanyalah bertujuan untuk memadukan antara—meminjam istilah BJ. Habibie—iman dan taqwa (imtaq) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Atas kenyataan tersebut, maka dalam tulisan ini penulis akan mengupas fenomena munculnya model lembaga pendidikan baru yaitu pesantren dalam kampus (baca: pesantren mahasiswa) dan kampus dalam pesantren (baca: kampus santri).
Pesantren mahasiswa adalah model lembaga pendidikan yang "menawarkan" kepada para mahasiswa untuk menjadi santri. Sehingga pesantren mahasiswa berfungsi sebagai wahana penggemblengan spriritual dan benteng moral mahasiswa. Termasuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan konsep pohon keilmuannya mewajibkan setiap mahasiswa baru untuk tinggal di pesantren kampus (baca: ma’had sunan ampel al-aly), yaitu pada satu tahun pertama. Di kampus ini semua mahasiswa (apapun jurusannya) diwajibkan untuk tinggal di pesantren selama satu tahun penuh. Dengan demikian diharapkan akan terbentuk mahasiswa yang mantap dalam akidahnya, memiliki wawasan ilmu keislaman yang luas, berakhlaq mulia, dan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Tetapi dalam pelaksanaannya, pesantren dalam kampus masih banyak kendala. Sebab, meskipun UIN Malang sebagai "universitas Islam", namun banyak sekali mahasiswa yang sebelumnya, belum tahu banyak tentang Islam, atau bahkan sama sekali belum bersentuhan dengan pendidikan ilmu agama Islam, misalnya mahasiswa yang terlahir dari keluarga yang kurang religius dan hidup di ibu kota, sebelum masuk ke universitas tersebut, mereka menempuh studi pada SMP/SMA yang kurang pelajaran agamanya. Apalagi kadang faktor masuknya mereka ke perguruan tinggi Islam itu, karena tidak diterima pada salah satu perguruan tinggi umum yang didambakannya. Jadi, untuk kegiatan demikian ini, yakni sebuah "pesantren" didalam kampus, dari sisi efektifitas "pesantren" jelas minim. Dan sebab itu pula, kurang tepat bila dinamakan pesantren, dan juga bisa dikatakan menyalahi eksistensi pesantren yang lebih dahulu lahir. Sebab para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut, mengikuti program-program yang "dinamakan pesantren" itu, hanyalah "berdasar tekanan", untuk mengisi waktu kosong, di luar jam kuliah yang menjadi tujuan utamanya itu.
Kiranya, menggagas pesantren dalam kampus itu, sama halnya sebuah lembaga pendidikan Islam, seperti yang banyak terdapat di mana-mana, yang sejak awal dibangunnya, para pendirinya menamakan diri "sekolah SMP/SMA Islam berasrama", cuman para pengelola lembaga pendidikan tersebut ingin menciptakan suasana Islami, sehingga mereka meniru peraturan yang dijalankan oleh setiap pesantren, utamanya dalam pergaulan antara siswa-siswinya di kasih jarak sebagaimana para para santri di berbagai pesantren "yang benar-benar pesantren". Sehingga "suasana" dilingkungan sekolah Islam tersebut, hampir mirip dengan pesantren.
Selain pesantren mahasiswa, fenomena lain yang muncul adalah hadirnya kampus-kampus dalam pesantren yang berfungsi sebagai jenjang pendidikan tinggi bagi para santri karena dalam sistem pendidikan ini menawarkan kepada para santri untuk menjadi mahasiswa. Yakni tanpa adanya unsur penekanan. Kita mengambil contoh pesantren Sukorejo Situbondo misalnya. Sebagai pesantren warisan KHR. Asy'ad Syamsul Arifin itu, di dalam pesantren tersebut, pada tanggal 14 Maret 1968 telah berdiri universitas dengan nama Ibrahimy. Yang kemudian dalam perkembangannya universitas Ibrahimy pada 25 Juli 1988, berubah menjadi Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII). Yang sampai saat ini institut agama Islam Ibrahimy telah memiliki tiga fakultas: Fakultas Syariah, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Dakwah. Kemudian pada tahun Akademik 2001-2002 membuka dua akademi yaitu Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Ibrahimy (AMIKI) dan Akademi Perikanan dan Kelautan Ibrahimy (APERIKI). Ditambah dengan membuka cabang Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ibrahimy di Genteng Banyuwangi dan Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy (STAII) di Bagu Lombok Tengah NTB. Ditambah lagi, telah membuka program Pasca Sarjana Magister Agama Islam Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Sukorejo Situbondo.
Dan kiranya, dari pesantren mahasiswa bentuk kedua ini (baca: kampus santri), kelak para alumninya-pun, kurang tepat bila menulis biodata pribadinya, sebagai "alumni pesantren", dalam kondisi dan untuk tujuan apapun. Sebagaimana yang banyak terjadi sekarang-sekarang ini, yang dilakukan oleh orang-orang anti pesantren, ketika mereka membutuhkan nama pesantren. Dan Fenomena demikian itu, juga sama halnya yang lagi marak akhir-akhir ini, banyaknya kost-kostan mahasiwa-mahasiswi di berbagai kota pendidikan, yang menerapkan suasana religius, dan merubah nama kost-kostan menjadi pesantren.
Tetapi yang lebih penting adalah kita menghargai ikhtiar mereka yang ingin membangun model pendidikan alternatif. Dengan demikian, yang patut kita lakukan sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan program yang telah dicanangkan agar dapat berjalan sehingga benar-benar dapat menghasilkan output yang mumpuni. Hemat penulis, memang model lembaga pendidikan ang demikianlah yang cocok dengan keadaan sekarang yang dapat menghasilkan manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan secara holistik. Apabila model pendidikan ini berjalan dan berhasil, penulis yakin di Indonesia akan banyak lahir orang-orang yang ahli agama dan mumpuni di bidang sains dan teknologi, ahli politik, ekonomi, sosial-budaya dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama, dan ahli-ahli lainnya. Walhasil, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebab dihuni oleh oarang-orang yang berilmu.[]